1 |
4066 |
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair Telah menceritakan kepada kami Al
Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Abdur Rahman bin 'Abdullah bin Ka'ab bin Malik bahwa
'Abdullah bin Ka'ab bin Malik -Abdullah bin Ka'ab adalah salah seorang putra Ka'ab yang
mendampingi Ka'ab ketika ia buta- berkata; 'Saya pernah mendengar Ka'ab bin Malik
menceritakan peristiwa tentang dirinya ketika ia tertinggal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dalam perang Tabuk.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Saya tidak pernah tertinggal
menyertai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam peperangan yang beliau ikuti kecuali
perang Tabuk, akan tetapi saya juga pernah tertinggal dalam perang Badar. Hanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mencela seorang muslim yang tidak turut dalam
perang Badar. Yang demikian karena pada awalmulanya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dan kaum muslimin hanya ingin mencegat kaum kafir Quraisy yang sedang berada
dalam perjalanan dengan mengendarai unta hingga Allah mempertemukan kaum muslimin
dengan musuh mereka tanpa waktu yang di sepakati sebelumnya. Saat itu saya ikut serta
bersama Rasulullah pada malam Aqabah ketika kami berjanji untuk membela Islam. Menurut
saya, turut serta dalam perang Badar tidak sebanding dengan turut serta dalam malam
Aqabah, meskipun perang Badar lebih populer kebanyakan orang. Di antara cerita ketika
saya tidak turut serta bersama Rasulullah dalam perang Tabuk adalah sebagai berikut;
'Belum pernah stamina saya betul-betul fit dan mempunyai keluasan harta daripada ketika
saya tidak ikut serta dalam perang Tabuk tersebut. Demi Allah, sebelumnya saya tidak
menyiapkan dua ekor hewan tunggangan sama sekali dalam pelbagai peperangan. Tetapi
dalam perang Tabuk ini, saya bisa menyiapkan dua ekor hewan tunggangan. Adalah sudah
menjadi tradisi beliau Shallallahu'alaihiwasallam, beliau tidak pernah melakukan sebuah
peperangan selain beliau merahasiakan tujuan peperangannya, hingga saat terjadilah perang
tabuk ini, yang beliau nyatakan tujuan perangnya secara vulgar (terang-terangan). Akhirnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi berangkat ke perang Tabuk pada saat cuaca
sangat panas. Dapat di katakan bahwasanya beliau menempuh perjalanan yang amat jauh
dan penuh resiko serta menghadapi musuh yang berjumlah besar. Lalu Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menjelaskan kepada kaum muslimin apa yang akan mereka hadapi
bersamanya. Oleh karena itu, beliau memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan
perbekalan perang yang cukup. Pada saat itu, kaum muslimin yang menyertai Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam banyak sekali tanpa ditunjuk melalui surat tugas untuk
berperang. Ka'ab berkata; 'Ada seorang laki-laki yang tidak muncul karena ia ingin tidak turut
serta berperang. Ia menduga bahwa ketidak turutannya itu tidak akan di ketahui oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam -selama tidak ada wahyu yang turun mengenai dirinya
dari Allah Azza Wa Jalla -. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi berperang ke perang
tabuk ketika hasil panen buah sangat memuaskan, hingga saya harus memalingkan
perhatian dari hasil panen tersebut. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kaum
muslimin yang ikut serta sudah bersiap-siap dan saya pun segera pergi untuk mencari
perbekalan bersama mereka. Lalu saya pulang tanpa memperoleh perbekalan sama sekali.
Saya berkata dalam hati; 'Ahh, saya dapat mempersiapkan perbekalan sewaktu-waktu. Saya
selalu dalam teka-teki antara iya (berangkat) dan tidak hingga orang-orang semakin siap.'
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berangkat bersama kaum muslimin, sedangkan saya
belum mempersiapkan perbekalan sama sekali. Akhirnya saya pergi, lalu saya pulang tanpa
mempersiapkan sesuatu. Saya senantiasa berada dalam kebimbangan seperti itu antara
turut serta berperang ataupun tidak, hingga pasukan kaum muslimin telah bergegas
berangkat dan perang pun berkecamuk sudah. Kemudian saya ingin menyusul ke medan
pertempuran -tetapi hal itu hanyalah angan-angan belaka- dan akhirnya saya ditakdirkan
untuk tidak ikut serta ke medan perang. Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi
ke medan perang tabuk, maka mulailah rasa sedih menyelimuti diri saya. Ketika keluar ke
tengah-tengah masyarakat sekitar. Saya menyadari bahwasanya tidak ada yang dapat saya
temui kecuali orang-orang yang dalam kemunafikan atau orang-orang yang lemah yang
diberikan uzur oleh Allah Azza Wa Jalla. Sementara itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
tidak mengingat diri saya hingga beliau sampai di Tabuk. Kemudian, ketika beliau sedang
duduk-duduk di tengah para sahabat, tiba-tiba beliau bertanya; 'Mengapa Ka'ab bin Malik
tidak ikut serta bersama kita? ' Seorang sahabat dari Bani Salimah menjawab; 'Ya Rasulullah,
sepertinya Ka'ab bin Malik lebih mementingkan dirinya sendiri daripada perjuangan ini? '
Mendengar ucapan sahabat tersebut, Muadz bin Jabal berkata; 'Hai sahabat, buruk sekali
ucapanmu itu! Demi Allah ya Rasulullah, saya tahu bahwasanya Ka'ab bin Malik itu adalah
orang yang baik.' Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam diam. Ketika beliau
terdiam seperti itu, tiba-tiba beliau melihat seorang laki-laki yang memakai helm besi yang
sulit di kenali. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: 'Kamu pasti Abu
Khaitsamah? ' Ternyata orang tersebut adalah memang benar-benar Abu Khaitsamah Al
Anshari, sahabat yang pernah menyedekahkan satu sha' kurma ketika ia dicaci maki oleh
orang-orang munafik. Ka'ab bin Malik berkata; 'Ketika saya mendengar bahwasanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersiap-siap kembali dari perang Tabuk, maka
saya pun diliputi kesedihan. Lalu saya mulai merancang alasan untuk berdusta. Saya berkata
dalam hati; 'Alasan apa yang dapat menyelamatkan diri saya dari amarah Rasulullah? ' Untuk
menghadapi hal tersebut, saya meminta pertolongan kepada keluarga yang dapat
memberikan saran. Ketika ada seseorang yang berkata kepada saya bahwasanya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam hampir tiba di kota Madinah, hilanglah alasan untuk berdusta
dari benak saya. Akhirnya saya menyadari bahwasanya saya tidak dapat berbohong sedikit
pun kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Oleh karena itu, saya pun harus berkata
jujur kepada beliau. Tak lama kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tiba di kota
Madinah. Seperti biasa, beliau langsung menuju Masjid - sebagaimana tradisi beliau
manakala tiba dari bepergian ke suatu daerah - untuk melakukan shalat. Setelah melakukan
shalat sunnah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam langsung bercengkrama bersama para
sahabat. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang tidak sempat ikut serta
bertempur bersama kaum muslimin seraya menyampaikan berbagai alasan kepada beliau
dengan bersumpah. Diperkirakan mereka yang tidak turut serta bertempur itu sekitar
delapan puluh orang lebih. Ternyata Rasulullah menerima keterus terangan mereka yang
tidak ikut serta berperang, membai'at mereka, memohon ampun untuk mereka, dan
menyerahkan apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka kepada Allah. Selang
beberapa saat kemudian, saya datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Setelah saya memberi salam, beliau tersenyum seperti senyuman orang yang marah.
Kemudian beliau pun berkata; 'Kemarilah! ' Lalu saya berjalan mendekati beliau hingga saya
duduk tepat di hadapan beliau. Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya:
'Mengapa kamu tidak ikut serta bertempur bersama kami hai Ka'ab? Bukankah kamu telah
berjanji untuk menyerahkan jiwa ragamu untuk Islam? ' Saya menjawab; 'Ya Rasulullah, demi
Allah seandainya saya duduk di dekat orang selain diri engkau, niscaya saya yakin
bahwasanya saya akan terbebaskan dari kemurkaannya karena alasan dan argumentasi yang
saya sampaikan. Tetapi, demi Allah, saya tahu jika sekarang saya menyampaikan kepada
engkau alasan yang penuh dusta hingga membuat engkau tidak marah, tentunya Allah lah
yang membuat engkau marah kepada saya. Apabila saya mengemukakan kepada engkau ya
Rasulullah alasan saya yang benar dan jujur, lalu engkau akan memarahi saya dengan alasan
tersebut, maka saya pun akan menerimanya dengan senang hati. Biarkanlah Allah memberi
hukuman kepada saya dengan ucapan saya yang jujur tersebut. Demi Allah, sesungguhya
tidak ada uzur yang membuat saya tidak ikut serta berperang. Demi Allah, saya tidak
berdaya sama sekali kala itu meskipun saya mempunyai peluang yang sangat longgar sekali
untuk ikut berjuang bersama kaum muslimin.' Mendengar pengakuan yang tulus itu,
Rasulullah pun berkata: 'Orang ini telah berkata jujur dan benar. Oleh karena itu, berdirilah
hingga Allah memberimu keputusan." Akhirnya saya pun berdiri dan beranjak dari sisi beliau.
Tak lama kemudian, ada beberapa orang dari Bani Salimah beramai-ramai mengikuti saya
seraya berkata; 'Hai Ka'ab, demi Allah, sebelumnya kami tidak mengetahui bahwasanya
kamu telah berbuat suatu kesalahan/dosa. Kamu benar-benar tidak mengemukakan alasan
kepada Rasulullah sebagaimana alasan yang dikemukakan para sahabat lain yang tidak turut
berperang. Sesungguhnya, hanya istighfar Rasulullah untukmulah yang menghapus dosamu.'
Ka'ab bin Malik berkata setelah itu; 'Demi Allah, mereka selalu mencerca saya hingga saya
ingin kembali lagi kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu saya dustakan diri saya.'
Ka'ab bin Malik berkata; 'Apakah ada orang lain yang telah menghadap Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam seperti diri saya ini? ' Orang-orang Bani Salimah menjawab; 'Ya. Ada dua
orang lagi seperti dirimu. Kedua orang tersebut mengatakan kepada Rasulullah seperti apa
yang telah kamu utarakan dan Rasulullah pun menjawabnya seperti jawaban kepadamu.'
Ka'ab bin Malik berkata; 'Lalu saya pun bertanya; 'Siapakah kedua orang tersebut hai para
sahabat? ' Mereka, kaum Bani Salimah, menjawab; 'Kedua orang tersebut adalah Murarah
bin Rabi'ah Al Amin dan Hilal bin Ummayah Al Waqifi.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Kemudian
mereka menyebutkan dua orang sahabat yang shalih yang ikut serta dalam perang Badar
dan keduanya layak dijadikan suri tauladan yang baik. Setelah itu, saya pun berlalu ketika
mereka menyebutkan dua orang tersebut kepada saya.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Beberapa
hari kemudian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kaum muslimin untuk
berbicara dengan kami bertiga yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk. Sejak saat itu,
kaum muslimin mulai menjauhi dan berubah sikap terhadap kami bertiga hingga bumi ini
terasa asing bagi kami. Sepertinya, bumi ini bukanlah bumi yang pernah saya huni
sebelumnya dan hal itu berlangsung lima puluh malam lamanya.' Dua orang teman saya
yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk itu kini bersimpuh sedih di rumahnya sambil
menangis, sedangkan saya adalah seorang anak muda yang tangguh dan tegar. Saya tetap
bersikap wajar dan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Saya tetap keluar dari
rumah, pergi ke masjid untuk menghadiri shalat jama'ah bersama kaum muslimin lainnya,
dan berjalan-jalan di pasar meskipun tidak ada seorang pun yang sudi berbicara dengan
saya. Hingga pada suatu ketika saya menghampiri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
sambil memberikan salam kepadanya ketika beliau berada di tempat duduknya usai shalat.
Saya bertanya dalam hati; 'Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan
menggerakkan bibirnya untuk menjawab salam ataukah tidak? Kemudian saya
melaksanakan shalat di dekat Rasulullah sambil mencuri pandangan kepada beliau. Ketika
saya telah bersiap untuk melaksanakan shalat, beliau memandang kepada saya. Dan ketika
saya menoleh kepadanya, beliaupun mengalihkan pandangannya dari saya.' Setelah lama
terisolisir dari pergaulan kaum muslimin, saya pun pergi berjalan-jalan hingga sampai di
pagar kebun Abu Qatadah. Abu Qatadah adalah putera paman saya (sepupu saya) dan ia
adalah orang yang saya sukai. Sesampainya di sana, saya pun mengucapkan salam
kepadanya. Tetapi, demi Allah, sama sekali ia tidak menjawab salam saya. Akhirnya saya
memberanikan diri untuk bertanya kepadanya; 'Hai Abu Qatadah, saya bersumpah
kepadamu dengan nama Allah, apakah kamu tidak mengetahui bahwasanya saya sangat
mencintai Allah dan Rasul-Nya? ' Ternyata Abu Qatadah hanya terdiam saja. Lalu saya ulangi
lagi ucapan saya dengan bersumpah seperti yang pertama kali. Namun ia tetap saja terdiam.
Kemudian saya ulangi ucapan saya dan ia pun menjawab; 'Sesungguhnya Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui tentang hal ini.' Mendengar ucapannya itu, berlinanglah air mata saya
dan saya pun kembali ke rumah sambil menyusuri kebun tersebut. Ketika saya sedang
berjalan-jalan di pasar Madinah, ada seorang laki-laki dari negeri Syam yang berjualan
makanan di kota Madinah bertanya; 'Siapakah yang dapat menunjukkan kepada saya di
mana Ka'ab bin Malik? ' Lalu orang-orang pun menunjukkan kepada saya hingga orang
tersebut datang kepada saya sambil menyerahkan sepucuk surat kepada saya dari raja
Ghassan. Karena saya dapat membaca dan menulis, maka saya pun memahami isi surat
tersebut. Ternyata isi surat tersebut sebagai berikut; 'Kami mendengar bahwasanya
temanmu (maksudnya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) telah mengisolirmu
dari pergaulan umum, sementara Tuhanmu sendiri tidaklah menyia-nyiakanmu seperti itu.
Oleh karena itu, bergabunglah dengan kami, niscaya kami akan menolongmu.' Selesai
membaca surat itu, saya pun berkata; 'Sebenarnya surat ini juga merupakan sebuah bencana
bagi saya.' Lalu saya memasukkannya ke dalam pembakaran dan membakarnya hingga
musnah. Setelah empat puluh hari lamanya dari pengucilan umum, ternyata wahyu Tuhan
pun tidak juga turun. Hingga pada suatu ketika, seorang utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mendatangi saya sambil menyampaikan sebuah pesan; 'Hai Ka'ab, sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkanmu untuk menghindari istrimu.' Saya
bertanya; 'Apakah saya harus menceraikan atau bagaimana? ' Utusan tersebut menjawab;
'Tidak usah kamu ceraikan. Tetapi, cukuplah kamu menghindarinya dan janganlah kamu
mendekatinya.' Lalu saya katakan kepada istri saya; 'Wahai dinda, sebaiknya dinda pulang
terlebih dahulu ke rumah orang tua dinda dan tinggallah bersama dengan mereka hingga
Allah memberikan keputusan yang jelas dalam permasalahan ini.' Ka'ab bin Malik berkata;
'Tak lama kemudian istri Hilal bin Umayyah pergi mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam sambil bertanya; 'Ya Rasulullah, Hilal bin Umayyah itu sudah lanjut usia dan lemah
serta tidak mempunyai pembantu. Oleh karena itu, izinkanlah saya merawatnya.' Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: 'Jangan. Sebaiknya kamu tidak usah
menemaninya terlebih dahulu dan ia tidak boleh dekat denganmu untuk beberapa saat.'
Isteri Hilal tetap bersikeras dan berkata; 'Demi Allah ya Rasullah, sekarang ia itu tidak
mempunyai semangat hidup lagi. Ia senantiasa menangis, sejak mendapatkan permasalahan
ini sampai sekarang.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Beberapa orang dari keluarga saya berkata;
'Sebaiknya kamu meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah dalam masalah istrimu ini.
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri telah memberikan izin kepada Hilal bin
Umayyah untuk merawat suaminya.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Saya tidak akan meminta izin
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam persoalan istri saya ini. Karena,
bagaimanapun, saya tidak akan tahu bagaimana jawaban Rasulullah nanti jika saya meminta
izin kepada beliau sedangkan saya masih muda belia.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Ternyata hal
itu berlangsung selama sepuluh malam hingga dengan demikian lengkaplah sudah lima
puluh malam bagi kami terhitung sejak kaum muslimin dilarang untuk berbicara kepada
kami. Ka'ab bin Malik berkata; 'Lalu saya melakukan shalat fajar pada malam yang ke lima
puluh di bagian belakang rumah. Ketika saya sedang duduk dalam shalat tersebut, diri saya
diliputi penyesalan dan kesedihan. Sepertinya bumi yang luas ini terasa sempit bagi diri saya.
Tiba-tiba saya mendengar seseorang berteriak dengan lantangnya menembus cakrawala;
'Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah! ' Maka saya pun tersungkur sujud dan mengetahui
bahwasanya saya telah terbebas dari persoalan saya. Ka'ab bin Malik berkata; 'Kemudian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengumumkan kepada kaum muslimin usai shalat
Shubuh bahwasanya Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menerima taubat kami. Lalu orang-
orang pun segera memberitahu kepada kami seraya mendatangi dua orang teman saya
untuk memberitahukan kepada mereka berdua. Sementara itu, orang-orang dari Bani Aslam
datang kepada saya dengan mengendarai kuda dan berjalan menyusuri gunung, sedangkan
suara mereka lebih cepat dari kuda mereka. Ketika orang yang memberi kabar gembira itu
telah datang kepada saya, maka saya pun segera melepaskan dua pakaian luar saya dan
memakaikan kepadanya sebagai imbalan jasa pemberitahuannya kepada saya. Demi Allah,
pada saat itu yang saya miliki hanyalah dua pakaian luar tersebut. Akhirnya saya meminjam
dua pakaian (kepada seorang sahabat saya) dan langsung mengenakannya. Setelah itu, saya
pun menghadap Rasulullah, sementara orang-orang berduyun-duyun menemui saya untuk
memberikan ucapan selamat atas terkabulnya taubat saya. Lalu saya masuk ke dalam masjid,
tempat yang biasa digunakan Rasulullah untuk duduk-duduk dan bercengkrama bersama
para sahabat. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah berdiri dan berjalan mendekati saya serta
menjabat tangan saya seraya mengucapkan selamat kepada saya. Demi Allah, pada saat itu
tidak ada sahabat kaum Muhajirin yang berdiri untuk memberi selamat selain Thalhah.
Perawi hadits berkata; 'Ka'ab tidak pernah melupakan penyambutan Thalhah tersebut.'
Ka'ab berkata; 'Lalu saya memberi salam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang
kala itu wajahnya terlihat berseri-seri. Tak lama kemudian beliau berkata: 'Bergembiralah hai
Ka'ab, karena kamu mendapatkan sebaik-baik yang telah kamu lalui sejak kamu dilahirkan
oleh ibumu.' Ka'ab berkata; 'Kemudian saya bertanya; 'Ya Rasulullah, apakah pengampunan
untuk diri saya ini berasal dari engkau ataukah dari Allah? ' Rasulullah menjawab; 'Dari
Allah'. Sesungguhnya, manakala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang senang, maka
wajah beliau terlihat bersinar bagai bulan purnama dan kami pun mulai memahaminya.
Ka'ab berkata; 'Ketika telah duduk di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saya
berkata; 'Ya Rasulullah di antara rasa syukur diterimanya taubat saya, maka saya akan
menyerahkan sebagian harta saya ini sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul -Nya.'
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Hai Ka'ab, sisakanlah sebagian hartamu,
maka yang demikian itu lebih baik untukmu.' Akhirnya saya pun berkata; 'Baiklah. Saya akan
menyisakan harta saya yang menjadi bagian saya di Khaibar.' Saya berkata; 'Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyelamatkan saya hanya karena kejujuran
saya dan di antara taubat saya adalah bahwasanya saya tidak akan berbicara kecuali dengan
sejujur-jujurnya selama sisa umur saya. Demi Allah, saya tidak tahu ada seorang muslim yang
di uji Allah dalam kejujuran ucapannya sejak saya ceritakan hal ini kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam hingga sekarang ini dan ia lebih baik daripada apa yang telah
diujikan Allah kepada saya. Demi Allah, saya tidak ingin berdusta sejak saya ucapkan kata-
kata ini kepada Rasulullah sampai sekarang. Selain saya selalu berharap semoga Allah
memelihara saya dari kedustaan dalam sisa umur saya.' Ka'ab bin Malik berkata; 'Akhirnya
Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat Al Qur'an yang berbunyi: 'Sesungguhnya Allah telah
menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi
dalam kesulitan setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah
menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada mereka terhadap tiga orang yang di tangguhkan penerimaan taubatnya hingga bila
bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun terasa
sempit serta mereka telah mengetahui bahwasanya tidak ada tempat untuk berlindung dari
siksa Allah melainkan kepada-Nya. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka
tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha
Penyayang. Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang jujur.' (Qs. At-Taubah (9): 117-119). Ka'ab berkata; 'Demi Allah,
tidak ada nikmat yang telah di berikan Allah kepada saya, setelah Allah menunjukan kepada
saya Islam, yang saya anggap lebih besar daripada kejujuran. Seandainya saya berdusta,
maka saya akan celaka sebagaimana orang-orang yang telah berdusta. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan keburukan orang-orang yang berdusta ketika Allah
menurunkan ayat yang berbunyi: 'Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama
Allah apabila kamu kembali kepada mereka supaya kamu berpaling dari mereka. Maka
berpalinglah kamu dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu najis dan tempat mereka
adalah jahannam sebagai balasan dari apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan
bersumpah kepadamu supaya kamu ridla kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak
ridla kepada orang-orang yang fasik itu.' (Qs. At-taubah (9): 95-96). Ka'ab berkata kepada
dua orang temannya; 'Kita bertiga ini adalah orang-orang yang tertinggal dari kelompok yang
telah diterima Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika mereka bersumpah, lalu beliau
membai'at mereka dan memohonkan ampun untuk mereka. Ternyata Rasulullah
menangguhkan persoalan kita hingga ada keputusan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang
persoalan kita ini. Oleh karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman: Dan
terhadap tiga orang yang penerimaan taubat mereka di tangguhkan hingga bumi telah
menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas. (Qs. At-taubah (9): 118). Ka'ab berkata;
'Apa yang disebutkan Allah dalam ayat ini bukankah tertinggalnya kami dari peperangan,
melainkan tentang ketidakikutsertaannya kami dari kelompok orang-orang yang bersumpah
dan beralasan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau menerima
alasannya.(Shahih) |